[Review Buku] Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982
Kim
Ji-yeong Lahir Tahun 1982
Sebuah
buku bacaan untuk semua wanita karena Kim Ji-yeong adalah kita
Identitas Buku
Penulis : Cho
Nam-Joo
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman : 192
Halaman
Tahun Terbit : Desember
2019
ISBN : 9786020636207
Harga : Rp 58.000
Genre : Novel
Fiksi
Buku
ini aku baca setelah menonton filmnya di bioskop dua kali. Karena cukup penasaran
cerita lengkapnya, dan aku baru tahu kalau film itu diangkat dari sebuah novel.
Pengalamanku menonton versi film dari buku ini dua kali tak mengecewakan, yang
pertama menonton dengan teman laki-laki dan yang kedua bersama dua teman
perempuan dari Jerman. Filmnya berbahasa Korea namun terdapat terjemahan bahasa
Indonesia dan Inggris.
Walaupun
telah menonton filmnya, membaca buku ini justru asik dan tidak membosankan. Buku
ini membagi cerita ke dalam beberapa babak di mana setiap babak bercerita
tentang Kim Ji-yeong sendiri dan kehidupannya. Kim Ji-yeong adalah wanita
kelahiran Seoul, tanggal 1 April 1982. Dia menikah dengan seorang lelaki
bernama Jeong Dae-hyeon yang bekerja di perusahaan IT, sementara Kim Ji-yeong
dulu bekerja di agensi humas berskala kecil ketika putri satu-satu mereka belum
lahir. Mereka tinggal di apartemen mewah seluas 80 meter persegi di pinggiran
Kota Seoul. Putri mereka bernama Jeong Ji-won (di film namanya adalah Ah-young
dan tidak diketahui nama keluarganya apakah mengikuti ibu atau bapaknya).
Alur
maju mundur yang tertata dan tiap alurnya kita seolah-olah dibawa larut dalam
kisah peran utamanya itu sendiri. Awal dari buku ini tahun 2015 ialah ketika
Kim Ji-yeong, suami dan anaknya mengunjungi orang tua suaminya pada saat libur
Chuseok (thanksgiving Korea) di Busan. Suatu ketika Kim Ji-yeong mengatakan
hal-hal yang aneh kepada kedua mertuanya kemudian Jeong Dae-hyeon yang kaget
alhasil membawa istri dan anaknya pergi dan mengatakan bahwa Ji-yeong sedang
sakit. Jeong Dae-hyeon memang sangat khawatir terhadap kondisi istrinya dan
Ji-yeong pun mengatakan bahwa mungkin dia mengalami depresi pascamelahirkan.
Babak
selanjutnya ialah tahun 1982-1994 yang bercerita tentang masa kecil Kim
Ji-yeong. Ayahnya berprofesi sebagai pegawai negeri dan ibunya ialah ibu rumah
tangga. Dia memiliki satu kakak perempuan bernama Kim Eun-yeong dan satu adik
laki-laki bernama Kim Ji-seok. Diceritakan di keluarganya yang sangat
menjunjung tinggi keberadaan lelaki dan kaum lelaki selalu yang lebih dulu
untuk melakukan apapun, seperti pada halaman 23,
Yang selalu mengambul nasi lebih dulu adalah ayah, lalu adik laki-laki, lalu nenek.
Pada
saat itu Korea Selatan benar-benar hidup dalam ideologi patriarki yang tinggi. Para
mertua akan merasa bangga apabila mengetahui bahwa anak/ mertua perempuannya
mengandung bayi laki-laki. Pada masa ini juga diceritakan tentang ibu Ji-yeong
yang bernama Oh Mi-sook yang memiliki dua kakak laki-laki dan satu kakak
perempuan. Ibu Ji-yeong bercita-cita menjadi guru saat SMP namun karena keadaan
ekonomi keluarga mereka yang sulit, maka ibunya terpaksa untuk bekerja selepas
tamat SD sebagai buruh pabrik dan membantu kakaknya mengenyam pendidikan hingga
akhirnya mereka berhasil menjadi sukses. Hal yang menyedihkan di bagian ini
adalah aku sendiri pernah mendengar beberapa kehidupan yang sama seperti ini,
misal anak pertama dari banyak bersaudara terpaksa tidak kuliah karena harus
bekerja dan membantu biaya pendidikan adik-adiknya, belum lagi pada halaman 33
tertulis,
Saat itulah untuk pertama kalinya ibu dan kakak perempuannya menyadari bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kesempatan di dalam keluarga mereka sendiri.
Sosok
ibu Ji-yeong digambarkan sebagai seorang yang tangguh dan memegang teguh apa
yang diyakininya. Dia ingin bahwa ketika anak-anak perempuannya tumbuh dewasa,
mereka menjadi wanita yang jauh lebih beruntung dari dirinya.
Babak
kedua yakni tahun 1995-200, menceritakan masa remaja Ji-yeong (SMP dan SMA). Ketika
Ji-yeong masuk SMP, sekolah itu berubah menjadi SMP campuran yang dulunya SMP
perempuan. Namun ketika SMA barulah Ji-yeong bersekolah di SMA khusus
perempuan. Pada masa SMA, Ji-yeong makin melihat dunia dan berbagai bentuk
pelecehan seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Dia banyak
sekali melihat kasus-kasus seperti itu terjadi terutama di SMAnya. Bagian ini,
jujur aku paham betul karena ketika SMA akupun melihat beberapa kasus yang sama
dan sebagai perempuan kami benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa ketika hal
tersebut terjadi dan memilih untuk tidak mencari keributan walau sebenarnya sungguh
tidak nyaman.
Ada
satu adegan dimana ketika Ji-yeong pulang malam dan mengendarai bus namun seorang
lelaki memaksa ingin mengantarnya pulang padahal Ji-yeong sudah menolaknya. Adegan
ini kurang lebih sama seperti yang terdapat dalam film.
Babak
berikutnya yaitu tahun 2001-2011 dimana Ji-yeong telah menjadi dewasa, belajar
di universitas, dan bekerja. Budaya partiarki masih sangat terasa pada masa itu
dan yang menurutku cukup bisa di highlight adalah ketika Yoon Hye-jin (teman
Kim Ji-yeong) bercerita tentang salah seorang kakak senior perempuannya yang
sangat unggul namun dia terlambat mengetahui sebuah informasi untuk melamar
pekerjaan ke sebuah perusahaan dan berusaha untuk mencari tahu kriteria apa
yang diperlukan untuk mendaftar. Dia bertanya pada beberapa dosen dan dekan. Jawaban
paling miris yang dia peroleh dan terucap dari mulut dekannya justru menyayat
hati,
“Perusahaan akan merasa terbebani apabila seorang wanita terlalu pintar. Coba lihat sekarang, apakah kau tahu betapa mengintimidasinya dirimu?” (halaman 95)
Di
babak ini pula, Ji-yeong bisa berpikiran cukup badass ketika dia melakukan
interview kerja dan salah satu interviewernya menanyakan apa yang akan
dilakukannya ketika dalam bekerja dia mengalami pelecehan seksual. Ji-yeong
membatin,
“Kalau begitu, tangan bajingan itu harus dipatahkan! Masalahnya juga ada di kalian! Bertanya seperti itu saat wawancara juga adalah pelecehan seksual! Memangnya kalian juga mengajukan pertanyaan itu kepada pelamar pria?” (halaman 101-102)
Hal
ini sangat erat dengan kejadian dalam hidup kita khususnya untuk kaum hawa. Aku sendiri
cukup sering mendengar perempuan ditanya ketika membuat visa ingin ke luar
negeri dan ketika mereka menjawab bahwa mereka akan kembali ke Indonesia namun
penanya itu mengatakan, “ah mbaknya kan cantik, eksotis, pasti bule mau.”
Satu
lagi yaitu suara batin Ji-yeong,
“... tetapi kenapa wanita selalu merasa mereka harus melakukannya?” (halaman 110)
Ini
benar-benar menyedihkan tapi sungguh terjadi. Ada beberapa hal, contohnya dalam
pekerjaan rumah tangga, wanita seolah-olah harus melakukan semuanya, dan lelaki
tidak perlulah untuk ikut campur.
Terakhir
ialah tahun 2012-2015 dimana Kim Ji-yeong menikah dengan Jeong Dae-hyeon. Yang terjadi
dalam salah satu adegannya cukup relevan dengan kehidupan, yaitu ketika menantu
perempuan yang belum juga hamil menjelang satu tahun pernikahan. Justru orang
lainlah yang banyak ikut campur dan mempertanyakan apakah si wanita mandul atau
kesehatannya tidak baik, dsb. Penyelesaian dari konflik ini sangat menarik
karena suami Ji-yeong yang awalnya kesal karena berpikir bahwa Ji-yeong terlalu
sensitif alhasil berpikir bahwa dia memang seharusnya membela istrinya karena
akan lebih mudah baginya untuk berbicara dengan keluarganya.
Di
babak ini pula aku menyadari bahwa terkadang laki-laki dapat menjadi superior
atas wanita, adegan ketika suami Ji-yeong mengatakan bahwa dia akan membantunya
dalam memulai pekerjaan dan pengasuhan anak,Kim Ji-yeong emosi dan berkata,
“Tidak bisakah kau berhenti mengoceh tentang bantuan? Kau membantu dalam urusan rumah tangga, membantu membesarkan anak, membantu urusan pekerjaanku. Memangnya rumah ini bukan rumahmu? Memangnya keluarga ini bukan keluargamu? Anak ini bukan anakmu? Lagipula selama aku bekerja, memannya hanya aku sendiri yang menikmati hasilnya? Kenapa kau berbicara seolah-olah kau bersikap murah hati menyangkut pekerjaanku?” (halaman 143)
Menurutku,
ada tekanan dimana suami merasa sangat baik hati ketika membantu istrinya di
rumah karena tentunya tidak semua suami melakukan itu yang padahal hal-hal
tersebut juga bagian dari tanggung jawab mereka. Jadi seolah-olah kehidupan
rumah tangga dalam rumah, istri yang bertanggung jawab.
Buku
ini ditutup dengan menceritakan yang terjadi dengan Kim Ji-yeong tahun 2016
setelah tahun sebelumnya kondisi mentalnya yang cukup parah dan bisa berubah
menjadi siapapun. Di tahun 2016 akhirnya Ji-yeong menjalani konseling dengan
psikiater dua kali seminggu selama 45 menit. Akhir di buku ini menggantung yang
mana sangat tidak aku suka, namun karena aku menonton filmnya terlebih dahulu
baru membaca bukunya, jadi kurasa buku dan filmnya benar-benar saling
melengkapi. Buku novel ini sangat seru, tidak hanya untuk wanita namun
laki-laki juga dapat menikmatinya sebagai bekal mengenal perjuangan lain gender.
Komentar
Posting Komentar