Meranggasi Kehidupan
Tulisan ini aku
dedikasikan untuk jiwa-jiwa yang tak kenal lelah dalam melakukan kebaikan,
menebarkan semangat juang tinggi, dan selalu berani untuk tetap berenang dalam
arus yang kencang. Terima kasih.
Setelah sekian lamanya bergelut
dengan suatu fase dalam hidup mengerjakan tanggung jawab bernama Tugas Akhir (alias skripsi),
akhirnya aku benar-benar bisa selesai dan diwisuda. Sungguh perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk bisa sampai
di titik sekarang. Banyak sekali cerita, pengalaman, kekhawatiran,
keberuntungan, dan orang-orang baik hati yang senantiasa ada dalam pelbagai
adegan.
Kalau boleh jujur,
tugas akhir ini menjadi momok yang luar biasa bagi diriku karena aku; orang
yang suka sekali mengerjakan tugas di hari terakhir pengumpulan, mager abis
untuk ke luar melakukan observasi atau penelitian, suka berpikir saat malam
hari dimana orang-orang tidur dan tidak beraktivitas saat itulah aku berpikir
dan beraktivitas kemudian berpengaruh pada jam tidurku yang jadi berantakan. Dari
awal aku memulai tugas akhir, untungnya linguistik menjadi bidang yang cocok
untukku dan aku suka. Namun ternyata suka saja tidak cukup. Perjalanan baru
dimulai.
Judul direvisi dua
kali, akhirnya melaju dengan penelitian Pragmatik sebuah film kartun anak-anak
bernama Peppa Wutz. Awalnya dari iseng-iseng suka nonton film kartun, kemudian
jadi kepikiran kenapa gak meneliti ini, ya?
Dari mulai bolak balik nonton
kartunnya, kemudian transkrip dalam bahasa Jerman dan minta tolong seorang
teman untuk uberprüfen (proofread). Tahap belajar teori-teori linguistik juga
tidak mudah, banyak buku yang menjadi referensiku terutama linguistik Jerman,
karena objek kajian penelitianku berbahasa Jerman jadi unbedingt (harus)
teorinya harus dari sana. Membaca buku-buku linguistik ternyata seru, saking
serunya kadang suka kebingungan mengidentifikasi dan membedakan antara teori
yang satu dengan yang lain, padahal teori yang baru ialah pengembangan.
Selain belajar, bertemu
dosen adalah sesuatu yang einzigartig (unik). Takut tiap kali mau bimbingan
karena pasti dimarah-marahin gegara kurang paham dengan omongan dosen, atau
belum paham konsep (iya iya aja wkwk). Alhasil sebelum bimbingan, belajar
sebisa mungkin, terus-terusan memahami apa yang ditulis dalam tugas akhir.
Pernah suatu ketika,
pulang dari Bandung mengikuti program dari DAAD (Deutscher Akademischer
Austausch Dienst) dan UNPAD (Universitas Padjajaran), aku mengumpulkan niat
sejagat untuk bimbingan lagi. Tentu saja dimarahi, “Anda kemana saja?” “Kok
baru datang?”. Mau bilang ke Mars ga mungkin, kan. Diantara semua yang
diutarakan dosen pembimbing, beliau masih tetap keren dalam membimbing, karena
selalu memberi solusi bukan hanya coretan penuh kekesalan.
Kemudian teman-teman.
Satu per satu melaksanakan sidang, selesai dan meninggalkan kampus, beberapa
meninggalkan Jogja. Rasanya seperti jadi mahasiswa baru (lagi). Asing, sepi, dan malu.
Hanya kenangan di beberapa sudut-sudut Jogja yang tersisa. Baik maupun buruk
perlakuan UNY, dibuat enak aja haha.
Akhirnya aku selesai,
sebuah pembuktian diri yang luar biasa dari seorang Vita. Seperti meranggasi
kehidupan, kadang harus menggugurkan dedaunan alias keinginan untuk kemudian
tandas semuanya lalu tunggu beberapa waktu untuk jadi pohon yang baru. Selesai studi
strata satu, setelah ini kemana hidup membawaku?
Yogyakarta, 13 Desember 2019
Komentar
Posting Komentar