Tentang Kebaya, Beskap dan Upacara Bendera
Ada yang berbeda tentang upacara bendera pada hari Senin, tanggal 15 Oktober 2018 ini. Di Purworejo, setiap tanggal 15 para siswanya wajib mengenakan pakaian adat yaitu kebaya untuk perempuan, beskap untuk laki-laki beserta blangkon. Luar biasanya adalah cuaca hari ini tidak begitu panas. Matahari tetap bersinar tetapi tidak terlalu terik, jadi sedikit mendung.
Sepanjang hidup saya tinggal di Provinsi Jawa Tengah, saya tidak terlalu paham tentang esensi memakai kebaya. Memang ketika di sekolah saya pernah memakai kebaya pada acara peringatan hari kartini namun yang belum saya mengerti adalah mengapa orang repot-repot memakai sebuah pakaian yang menyusahkan. Bukankah senang apabila menggunakan pakaian yang nyaman dan ruang gerak kita juga tidak terbatas.
Hari ini, pembina upacara menjawab pertanyaan yang sudah lama saya pikirkan. Beliau berkata dengan bahasa Jawa yang kurang lebih begini,
“hari ini tidak seperti Senin biasanya, tidak ada putih abu-abu. Hari ini cerah dan warna warni. Walaupun memang pakaian yang kalian pakai itu panas, tapi itu mengajarkan kita untuk sabar dan tekun. Kalian perlu sabar memakai jarik (kain batik yang biasa digunakan untuk rok). Kalau tidak ada tali kalian bisa menggunakan rafia (tali rafia). Mungkin terlihat rapi di luar, tapi ternyata lekukan di dalamnya sangat awut-awutan (berantakan). Tapi tidak apa-apa, yang penting terlihat rapi luarnya.”
Jujur perkataan Bapak Pembina Upacara hari ini mengingatkan saya kepada sebuah filosofi rumah orang Jawa. Kebanyakan (atau bahkan semua) dari mereka berpikir bahwa yang penting depannya tampak bagus, untuk tampilan belakang urusan belakangan pula. Mereka sangat mengupayakan sesuatu yang “presentable” atau terlihat rapi. Dari sini saya banyak belajar tentang budaya di negara sendiri. Ada hal-hal yang tak tertulis namun saya rasakan di kehidupan nyata. Lagi-lagi, belajar budaya memang tak ada habisnya.
Menurut kalian bagaimana?
Purworejo, 15 Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar