Between Your Imaginary and Germany
Menjadi seorang mahasiswa pendidikan bahasa Jerman membuat saya tersadar saya telah dicuci otak. Tentu saja saya belajar banyak tentang negara Jerman dan hal-hal tersebut sudah diajarkan mulai dari semester pertama. Saya terlalu cliché memandang “krass” (keren) negara tersebut yang bahkan dulu saya pikir itu negara sempurna. Seiring banyak mengobrol dengan orang Jerman dan ke Jerman langsung saya jadi sadar.
Pada akhirnya, Jerman adalah sebuah negara. Iya, negara. Layaknya negara lainnya, tidak semua orang Jerman tepat waktu dan tidak semua jalan raya lancar jaya. Benar-benar sebuah negara. Layaknya Indonesia, penduduk Jerman juga masih banyak yang menikah di usia 25 tahun tetapi hal itu tergantung dari background mereka. Ada yang menikah karena “accident” ada juga yang menikah karena benar-benar ingin mempertahankan cintanya. Lagi-lagi, layaknya Indonesia, DB atau Deutsche Bahn (kereta Jerman) juga bisa telat. Iya, telat. Perlu pengulangan sekali lagi? Telat.
Intinya semua stereotypes yang saya terima dan saya serap mulai dari awal semester hanyalah bumbu-bumbu MSG yang membuat negara Jerman di mata saya terlihat gurih dan crunchy. Tidak apalah, ibarat belajar itu membuat kue kita kan butuh vanille sebagai pewangi, butuh baking soda sebagai pengembang dan pelengkap lainnya sesuai selera.
Komentar
Posting Komentar